Jakarta – Sengketa tanah antara Haji Mukhtar bin Usman dan Ketua Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah, Haji Rahmatullah Sidik, semakin memanas. Konflik ini tidak hanya berkaitan dengan kepemilikan lahan, tetapi juga menyeret isu hukum, transparansi pengelolaan yayasan, serta dugaan pelanggaran administratif.

Kasus ini mencuat setelah keluarga Haji Mukhtar, melalui perwakilannya, Zaky Mubarok bin H. Bahrodji, mengungkap bahwa tanah seluas 3.100 meter persegi yang diperjualbelikan pada 1968 masih tercatat atas nama keluarga mereka. Tidak ada bukti pembayaran maupun dokumen resmi yang mengesahkan perpindahan kepemilikan kepada yayasan.

“Permasalahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Keluarga kami, termasuk almarhum Haji Mukhtar dan Haji Rahmatullah, serta Hajjah Farida dan Haji Ahmad Fauzi, menegaskan bahwa tidak pernah ada pembayaran atas tanah ini. Sampai sekarang, tidak ada satu pun bukti transaksi yang sah,” ujar Zaky Mubarok dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/1/2025).

Dugaan Pelanggaran dan Penyimpangan

Sengketa ini semakin rumit setelah muncul berbagai dugaan pelanggaran yang memperburuk situasi, antara lain:

  1. Transaksi Jual Beli Tidak Sah
    Proses jual beli tanah ini diduga dilakukan tanpa keterlibatan seluruh ahli waris dan tanpa kehadiran notaris, sehingga keabsahannya patut dipertanyakan.
  2. Izin Operasional Sekolah Kedaluwarsa
    Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah dikabarkan tetap menjalankan operasional sekolah meskipun izinnya telah habis. Bahkan, sekolah masih menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
  3. Dugaan Suap dan Intimidasi
    Keluarga ahli waris mengklaim bahwa pihak yayasan menawarkan uang Rp2 miliar untuk menghentikan tuntutan hukum. Selain itu, ada dugaan intimidasi terhadap pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan.
  4. Maladministrasi dalam Pengelolaan Aset
    Sengketa ini juga mengungkap kemungkinan adanya maladministrasi dalam pengelolaan yayasan, termasuk dugaan keterlibatan pihak tertentu dalam melancarkan proses hukum yang tidak transparan.
  5. Kolusi dengan Pihak Tertentu
    Keluarga ahli waris menuding adanya permainan antara pengurus yayasan dengan individu tertentu, termasuk H. Syatief Usman dan koleganya, dalam upaya menguasai tanah sengketa.

Tuntutan Ahli Waris dan Desakan Penyelesaian Hukum

Ahli waris mendesak Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah untuk membuktikan keabsahan kepemilikan tanah dengan dokumen resmi dan saksi yang kredibel. Bahkan, mereka menantang pengurus yayasan untuk bersumpah di atas Al-Qur’an guna membuktikan klaim mereka.

“Haji Ahmad Farid, Ketua Yayasan, pernah berjanji akan menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Namun hingga kini, baik proses pidana maupun perdata tidak menunjukkan perkembangan berarti,” kata Zaky.

Masyarakat dan ahli waris mendesak Kementerian Agama (Kemenag) Jakarta Barat, Kantor Urusan Agama (KUA) Kebon Jeruk, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk menginvestigasi kasus ini. Netralitas aparat penegak hukum juga menjadi sorotan agar penyelesaian perkara benar-benar dilakukan secara adil dan transparan.

Dampak Sengketa terhadap Pendidikan dan Kepercayaan Publik

Selain merugikan keluarga pemilik tanah, sengketa ini juga berdampak pada masyarakat, terutama siswa yang bersekolah di Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah. Status hukum lahan yang tidak jelas menimbulkan ketidakpastian terhadap kelangsungan pendidikan di sekolah tersebut.

Lebih jauh, polemik ini berpotensi merusak citra yayasan sebagai lembaga pendidikan Islam yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan transparansi. Jika penyelesaian kasus ini tidak dilakukan secara adil dan terbuka, kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan sistem hukum bisa terganggu.

Sanksi Hukum yang Berpotensi Dikenakan

Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah dan pihak terkait dapat dikenakan berbagai sanksi, antara lain:

  1. Pencabutan Izin
    Pemerintah berwenang mencabut izin operasional sekolah jika ditemukan pelanggaran serius dalam pengelolaan yayasan.
  2. Pembekuan Aset
    Aset yayasan yang terkait dengan sengketa dapat dibekukan sebagai bagian dari langkah hukum untuk menyelesaikan kasus ini.
  3. Sanksi Administratif
    Yayasan bisa dikenakan denda dan sanksi administratif lainnya akibat dugaan pelanggaran regulasi.
  4. Ganti Rugi
    Jika pengadilan memutuskan bahwa tanah memang milik ahli waris, yayasan dapat diwajibkan membayar ganti rugi.
  5. Pengembalian Hak
    Hak kepemilikan atas tanah yang diambil secara tidak sah harus dikembalikan kepada pihak yang berhak.
  6. Sanksi Sosial
    Kasus ini bisa berdampak negatif terhadap reputasi yayasan, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Harapan akan Penyelesaian yang Adil

Sengketa tanah ini menjadi pelajaran penting mengenai pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap hukum dalam transaksi jual beli tanah, terutama yang melibatkan lembaga pendidikan. Kejelasan dokumen kepemilikan dan keterbukaan dalam pengelolaan yayasan harus menjadi prioritas agar kasus serupa tidak terulang.

Demi kepentingan masyarakat dan generasi penerus, penyelesaian yang adil dan bermartabat sangat dibutuhkan. Musyawarah yang mengedepankan kejujuran serta kepatuhan terhadap hukum menjadi jalan terbaik agar konflik ini dapat segera terselesaikan.

Kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan institusi pendidikan bergantung pada bagaimana kasus ini diselesaikan. Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa intervensi dan kepentingan tertentu, maka keadilan bisa terwujud, dan citra lembaga pendidikan Islam tetap terjaga Tanah dikembalikan kepada pemilik dan/atau ahli waris.

Aparat dan khayalak telah banyak yang mengetahui : namun pihak Yayasan masih merasa tenang dan aman – aman saja . .

Siapa dibalik ini semua, dan apakah ada Oknum lain yang terlibat . . ? ?

Siapa dibalik ini semua . . ? ?

(Red)

By Setyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *