
apt. Ismail
Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu
JAKARTA, 19 November 2025 – Perkumpulan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) telah secara resmi mengirimkan surat dan naskah kebijakan (policy brief) kepada Presiden Republik Indonesia dan Pimpinan Komisi IX DPR RI. Langkah ini diambil sebagai respons mendesak terhadap Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 11 Tahun 2025 yang dinilai cacat hukum, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dan berpotensi besar membahayakan keselamatan pasien (patient safety) di seluruh Indonesia.
Pokok permasalahan terletak pada perubahan fundamental status hukum apotek. Dalam UU 17/2023 Pasal 170, apotek secara tegas dikategorikan sebagai “Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang”. Namun, Permenkes 11/2025 melalui Pasal 5 ayat (2) mengklasifikasikannya sebagai “Kegiatan Usaha Kefarmasian” dengan KBLI: (47721), yakni “Perdagangan Eceran Barang dan Obat Farmasi untuk
Manusia di Apotek”.
“Naskah kebijakan ini adalah bentuk tanggung jawab kami sebagai penjaga garda depan rasionalitas penggunaan obat,” ujar Ismail, Ketua Presidium Nasional Perkumpulan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB). “Permenkes ini secara esensial mereduksi apotek dari fasilitas kesehatan menjadi sekadar toko ritel. Ini sangat berbahaya. Apotek bukanlah toko biasa tempat menjual barang; apotek adalah tempat apoteker menjalankan praktik profesi untuk memastikan pasien menerima obat yang aman dan tepat.”
Naskah kebijakan FIB memaparkan bahwa Permenkes 11/2025 mengandung cacat hukum fundamental, termasuk:
- Ultra Vires (Melampaui Kewenangan): Peraturan Menteri mengubah substansi Undang-Undang, yang merupakan kewenangan legislatif.
- Konflik Hierarki (Lex Superior): Permenkes (peraturan lebih rendah) bertentangan dengan UU (peraturan lebih tinggi).
- Pelanggaran Asas Kepastian Hukum: Regulasi ini menciptakan kontradiksi internal, di mana definisi apotek sebagai “fasilitas pelayanan kesehatan” bertabrakan dengan klasifikasinya sebagai “kegiatan usaha dengan status perdagangan eceran” (Pasal 5 dan Lampiran B angka 7, bagian definisi Apotek dan Klasifikasi KBLI Apotek).
Implikasi paling kritis dari regulasi ini adalah terancamnya keselamatan pasien. Dengan status “perdagangan eceran”, orientasi apotek bergeser dari patient care (layanan pasien) menjadi profit maximization (maksimalisasi profit).
“Layanan kefarmasian esensial seperti konseling, skrining interaksi obat, dan manajemen terapi, yang krusial untuk mencegah medication error, berisiko dianggap sebagai ‘pos biaya’ yang bisa dikurangi demi efisiensi bisnis. Selain itu, otonomi profesional apoteker akan terdegradasi. Mereka bisa berada di bawah tekanan pemilik modal non-apoteker untuk memenuhi target penjualan, mengesampingkan penilaian klinis,” tambah Ismail.
Melalui naskah kebijakan tersebut, FIB merekomendasikan tiga langkah konkret:
Rekomendasi Segera: Presiden RI menginstruksikan Menteri Kesehatan untuk segera mengamandemen Permenkes 11/2025, mengembalikan klasifikasi apotek sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang.
Rekomendasi Jangka Menengah: Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang, sesuai amanat Pasal 171 UU 17/2023, sebagai payung hukum yang kuat.
Rekomendasi Pengawasan: Komisi IX DPR RI diminta aktif menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan harmonisasi regulasi dan perlindungan terhadap keselamatan publik.
FIB menegaskan bahwa kemudahan berusaha tidak boleh mengorbankan keselamatan pasien, yang merupakan pilar utama dalam sistem kesehatan nasional.
Tentang Perkumpulan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB)
Perkumpulan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) adalah Organisasi Profesi Apoteker yang berkomitmen untuk memajukan praktik kefarmasian yang etis, profesional, dan berorientasi pada keselamatan pasien, serta memperjuangkan kedaulatan dan kesejahteraan Apoteker di Indonesia.apt. Ismail
Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu
